https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Uni Eropa Bakal Bikin RI-Malaysia Kehilangan Miliaran Dolar per Tahun

Uni Eropa Bakal Bikin RI-Malaysia Kehilangan Miliaran Dolar per Tahun

Ilustrasi - bendera Uni Eropa.

Jakarta, kabarsawit.com - Indonesia dan Malaysia mengecam aturan Deforestasi Uni Eropa karena mengancam industri minyak sawit kedua negara bernilai Miliaran Euro.

Sebelumnya, Uni Eropa telah menetapkan aturan baru yang melarang impor komoditas yang bersumber dari area lahan yang digunduli seperti; kedelai, kopi, dan kelapa sawit (CPO).

"Undang-Undang itu pro bisnis, pro korporasi multinasional, pro konglomerat, tapi tidak pro-rakyat. Itu bukan untuk petani," kata Menko Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto saat berkunjung ke Brussels, Belgia, belum lama ini.

Peraturan itu nantinya akan memaksa perusahaan memberikan laporan terhadap data geolokasi yang memastikan tidak berdampak terhadap deforestasi dan degradasi hutan.

Melihat aturan itu, Indonesia dan Malaysia khawatir akan merugikan sektor industri sawit yang menghasilkan duit ekspor senilai USD 6 miliar untuk Indonesia, dan USD 1,2 miliar untuk Malaysia. 

Gara-gara itu, Menko Airlangga dan Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia, Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof, menjumpai komisaris dan anggota parlemen Uni Eropa, termasuk kepala Green Deal Frans Timmermans, Komisaris Lingkungan
Virginijus Sinkevicius dan Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, untuk menyuarakan keprihatinan terhadap aturan tersebut.

“Kedua belah pihak sepakat perlunya bekerja sama lebih erat untuk memastikan penerapan hukumnya. Komisi di tingkat teknis akan segera ke Indonesia untuk mendalami cara mengintensifkan seperti yang kita minta. Kita keberatan atas kebijakan itu," kata Airlangga. 

Rencananya, Uni Eropa akan mengintensifkan daftar negara dan wilayah yang akan diklasifikasikan pada risiko deforestasi tinggi, rendah atau standar. 

 

Daftar negara itu akan diberikan ke Komisi pada akhir tahun. Uni Eropa menilai ini akan membantu otoritas bea cukai di negara-negara anggota untuk memprioritaskan pemeriksaan dan meningkatkan pengawasan.

Namun, cara Uni Eropa itu dinilai bakal menimbulkan risiko bagi reputasi negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia.

“Uni Eropa bukan lembaga pemeringkat, Indonesia adalah negara yang berdaulat. Tidak ada satu negara pun yang bisa mengklasifikasikan negara lain sebagai high risk, low risk atau small risk,” kata Airlangga.

Fadillah juga sepakat dengan Menko Airlangga bahwa peraturan Uni Eropa itu tidak berdasarkan kajian ilmiah.

"Keputusan yang mereka ambil lebih karena persepsi, karena tekanan, tekanan internal dari perusahaan produksi mereka sendiri. Peraturan tersebut berlaku untuk komoditas, bukan negara dan bukan punitif atau proteksionis, tetapi merupakan medan permainan yang setara," kata dia. 

Padahal, kata Fadillah, komoditas yang menjadi target aturan baru Uni Eropa merupakan komoditas yang di konsumsi paling relevan dalam hal mendorong deforestasi global dan degradasi hutan berdasarkan analisis ilmiah.

"Indonesia dan Malaysia berpendapat bahwa kita telah membuat kemajuan dalam mengatasi deforestasi. Buktinya tingkat kehilangan hutan telah menurun secara drastis sejak 2017 di kedua negara. Ini menurut Pengawasan Hutan Global," kata Airlangga. 

Alih-alih menetapkan aturan keras, Uni Eropa harus mengakui sertifikasi yang ada di Indonesia dan Malaysia. Lebih dari 90 persen petani dan pabrik kelapa sawit disertifikasi bebas deforestasi di Malaysia dan Indonesia. 

"Jadi apa lagi yang mereka inginkan? Mengapa mereka tidak bisa menerima kebijakan kita?," kata Fadillah. 

Menurut Fadillah, selain merugikan petani Malaysia dan Indonesia, aturan baru Uni Eropa itu juga bisa masuk pelanggaran hukum perdagangan internasional.

“Sebenarnya mereka ingin menghambat perdagangan kita. Kemitraan harus kita lakukan, tidak ada pembatasan. Nah, jika itu pun gagal, maka kita akan mengajukan gugatan hukum terhadap Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia. Ini akan terjadi tergantung pada hasil konsultasi yang akan kita lakukan dengan mereka," kata Fadillah.