https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Analogikan Nasib Anak Petani Sawit saat Ini, Formasi: Sudah Jatuh, Ketimpa Tangga Lagi!

Analogikan Nasib Anak Petani Sawit saat Ini, Formasi: Sudah Jatuh, Ketimpa Tangga Lagi!

Ilustrasi - petani kelapa sawit demo di luar kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Selasa (17/5). Foto: Willy/REUTERS

Pekanbaru, kabarsawit.com - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia mengeluarkan sejumlah pernyataan dalam Aksi Keprihatinan Petani dan Mahasiswa Anak Petani Sawit.

Disampaikan sejumlah poin dalam aksi itu, yang diklaim mewakili petani dan mahasiswa anak petani sawit dari 22 provinsi di Indonesia. Di antaranya, mendesak semua pihak untuk mendukung program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Poin lain, meminta disetop sementara pungutan ekspor (PE) dan relaksasi biaya keluar supaya harga tandan buah segar (TBS) sawit petani tertolong. Mereka juga meminta harga terendah TBS sawit sebesar Rp2.850/kg. "Periksa semua pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun," demikian di antara isi pernyataan itu.

Tuntutan lain, mereka meminta Bursa CPO oleh Bappebti sudah tayang Juli mendatang. Mereka juga meminta merevisi Permentan 01/2018. Selain juga mengharapkan BPDPKS jangan diam saja, melainkan turun memberi bantuan pada petani sawit.

Ketua Umum DPP Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia Amir Aripin Harahap yang dikonfirmasi mengatakan, sejumlah pernyataan dalam Aksi Keprihatinan itu merupakan hasil rapat DPP Formasi Indonesia via zoom pada Rabu (17/5) pekan lalu.

"Semua itu berangkat dari realitas yang dialami sejak beberapa waktu belakangan ini," kata Amir kepada kabarsawit.com, Rabu (24/5).

Dikatakan Amir, kondisi harga TBS sawit yang rendah sejak beberapa waktu belakangan memberi pukulan yang keras terhadap petani sawit, yang kemudian berimbas pada anak-anak petani sawit.

"Termasuk kami, anak petani sawit yang masih duduk di bangku pendidikan," katanya. Karena pendapatan petani merosot jauh, menurut Amir, banyak anak petani sawit kesulitan untuk membiayai pendidikannya.

"Kami patut mengira, karena kondisi yang begitu sulit belakangan ini, sebagian kawan-kawan kami anak petani sawit yang terpaksa harus cuti kuliah dulu karena persoalan biaya. Semoga saja tidak ada sampai drop out (DO)," tambah Amir.

 

Apa yang dialami oleh petani dan anak petani sawit, termasuk yang masih menuntut ilmu di bangku perguruan tinggi, menurut Amir, bisa diibaratkan sebagai sudah jatuh, ketimpa tangga, eh, tertusuk paku pula.

"Dan tolong dicatat, jumlah kami tidak sedikit, yaitu tersebar di 142 perguruan tinggi se-Indonesia, baik negeri maupun swasta," beber Amir, yang sedang mengambil program S2 di Pekanbaru itu.

Apalagi, menurut Amir, tidak lama lagi akan dilakukan proses penerimaan mahasiswa baru. "Bagaimana anak petani sawit yang hendak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi kalau harga sawit murah?, maka kami anak-anak petani sawit terancam putus sekolah," ujarnya. 

Dijelaskan Amir, dengan tingkat harga yang Rp1.700/kg, praktis petani sawit tidak bisa berharap banyak dari tanaman kelapa sawit yang dimilikinya.

"Jangankan untung, untuk menutupi biaya produksi saja tak bisa," tandasnya.

Amir mencermati, kejatuhan harga TBS sawit di pasaran sudah dimulai sejak kasus kelangkaan minyak goreng, berlanjut kebijakan DMO yang diterapkan pemerintah, bersambung dengan kebijakan deforestasi Uni Eropa.

Sehingga pemerintah Indonesia jangan hanya fokus pada diplomasi internasional tentang sawit berkelanjutan, namun lupa bahwa petani sawit sekarang kelaparan.
Amir mendesak semua pihak berkompeten di negeri ini untuk menyatukan pemikiran dan sikap dalam menghadapi persoalan itu. 

"Entah kalau tak kasihan dengan anak petani sawit, yang sejatinya adalah anak kandung negeri ini," ungkapnya.