https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Sumut Miliki CPO, Tiongkok dan Jepang Tampil dengan Nama

Sumut Miliki CPO, Tiongkok dan Jepang Tampil dengan Nama

Medan, kabarsawit.com - Sejak dahulu ada lelucon yang berkembang di masyarakat kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang berbunyi "sapi punya susu, manusia punya nama".

Artinya, yang memiliki susu adalah hewan ternak sapi, tetapi yang menikmati keuntungan dari susu sapi tersebut justru manusia.

Situasi di atas sepertinya terjadi pada Provinsi Sumut yang dikenal sebagai sentra perkebunan kelapa sawit dan produsen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) skala nasional.

"Tetapi negara asing, khususnya Tiongkok dan Jepang, yang memiliki banyak hak paten terkait produk hilir yang berbasiskan kelapa sawit," ucap ekonomi sekaligus akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo.

Hal tersebut ia katakan guna menjawab elaeis.co dan para wartawan di Medan, belum lama ini, terkait kendala apa saja yang terjadi dalam upaya hilirisasi produk CPO di Sumut.

Kata Wahyu Ario Pratomo, begitu banyaknya hak paten beragam produk berbasis sawit yang dimiliki dua negara terkemuka di kawasan Asia Timur tersebut membuat Sumut kesulitan dalam mengembangkan produk hilir sawit.

Plus di saat yang sama dirinya melihat CPO masih menjadi andalan utama ekspor dari Sumut. "Ekspor sawit kita masih didominasi CPO," ucapnya menambahkan.

Kata dia, beragam kendala tersebut bisa diatasi dengan cara mengundang investasi asing, terutama Tiongkok dan Jepang yang punya banyak hak paten produk sawit, untuk berinvestasi di Sumut.

Menurutnya, siasat itu justru lebih baik karena, walau Tiongkok dan Jepang yang punya hak paten, tetap kelapa sawit sebagai bahan baku utama produk mereka justru ada di Sumut.

"Sawit sebagai bahan baku produk mereka kan ada di Sumut. Jadi, kita undang saja mereka untuk berinvestasi di Sumut, sekaligus memangkas biaya operasional mereka karena selama ini terlalu jauh membawa minyak sawit ke negara mereka," ucapnya.

Kalau industri hilir atau pengolahan sawit, termasuk milik asing, susah tertanam di Sumut, dirinya yakin hal tersebut akan mampu menciptakan industri tersier.

"Kalau produk hilirnya sudah tercipta, berarti kan butuh industri tersier, butuh pemasaran terhadap produk-produk yang dihasilkan, dan itu akan semakin menguatkan ekonomi masyarakat," Wahyu menambahkan.

Dirinya yakin jika skema tersebut berjalan, maka bukan tidak mungkin industri kelapa sawit kembali akan mengangkat perekonomian Sumut hingga 6 persen setahun.

Dan persentase tersebut, ucapnya, bisa lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional yang biasanya sekitar 5 persen saja setiap tahunnya.

"Kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin perekonomian Sumut seperti masa-masa sebelumnya, yakni mampu mencapai 6 persen atau selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional," tegas Wahyu Ario Pratomo selaku akademisi dari Fakultas Ekonomi (FE) USU.