https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Mimpikan Pasar Roterdam Kedua di Indonesia

Mimpikan Pasar Roterdam Kedua di Indonesia

Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan (TPHP) Provinsi Bengkulu Ricky Gunarwan. Foto: Dirgantara

Bengkulu, kabarsawit.com - Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan (TPHP) Provinsi Bengkulu Ricky Gunarwan mendambakan Indonesia menjadi pusat perdagangan produk kelapa sawit terbesar kedua setelah Roterdam. 

Hal itu bukan tanpa alasan, sebab lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas. Sementara ibukota Belanda itu mampu menjadi kiblat perdagangan CPO dan produk turunan kelapa sawit lainnya namun tidak memiliki lahan sektor perkebunan.

"Kita punya lahan sawit yang luas. stok tak terbatas, tapi masih kalah dari Roterdam. Jadi perlu ada evaluasi tata kelola perdagangan produk turunan sawit. Jangan malah selalu ekspor, tapi kebutuhan di negara sendiri juga malah hilang," kata Ricky, kepada kabarsawit.com, kemarin.

Ricky melihat permintaan (demand) CPO di kawasan Eropa masih sangat tinggi. Sayangnya guna menembus pasar Eropa, hubungan perdagangan acap kali harus melewati pelabuhan Rotterdam, Belanda. 

Lebih lagi, lanjutnya, faktanya perdagangan minyak sawit mentah di Rotterdam sendiri, tidak hanya didominasi oleh bahan baku mentah (CPO), namun ada pula produk turunan CPO lainnya, seperti RBD Olein, RBD stearin, PFAD, staric acid, Fatty Acid dan fatty alcohol dan produk sawit lainnya seperti lilin.

"Nah, jadi ini yang jadi masalah. Pintu gerbang perdagangan tidak pernah dipikirkan pemerintah kita. Malahan kita masih kalah dengan pelabuhan milik Singapura, negara kecil tapi jadi gerbangnya ekonomi Asia," kata dia.

"Artinya memang bukan masalah stok, melainkan pintu gerbang perdagangan itu sendiri. Jika Indonesia bisa melakukan jalur pelayaran dengan konsep memotong jalur samudera, mungkin bisa negara-negara Asia melewati Indonesia, dan di sanalah kita bisa ambil bagian dalam pencatatan zona ekspor," imbuhnya, 

Penggunaan pelabuhan Rotterdam, juga membuat harga komoditas jadi seperti minyak goreng selalu berpatok pada pasar Roterdam. Hasilnya Indonesia sebagai pemasok harus ikut aturan main negara tersebut.

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bengkulu mendorong agar Indonesia terus menggenjot hubungan perdagangan ke Eropa, namun tidak lewat Rotterdam, melainkan lewat pelabuhan yang bisa menjangkau kawasan Eropa. Upaya ini tidak lain supaya produksi CPO Indonesia yang terus membesar setiap tahunnya bisa memiliki pasar. 

"Sayangnya masih jauh dari harapan, cara ini bukan menggantikan hubungan perdagangan yang sudah ada di Rotterdam," kata Ricky.