https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

DMO-DPO Mesti Dihapus Agar Industri Sawit Maju

DMO-DPO Mesti Dihapus Agar Industri Sawit Maju

Ilustrasi-TBS kelapa sawit.

Bengkulu, kabarsawit.com - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta agar aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk CPO dihapus karena dianggap tidak sesuai dengan industri kelapa sawit.

Menurut Ketua GAPKI Cabang Bengkulu, John Irwansyah Siregar, ekspor CPO mestinya tidak dibatasi DMO dan DPO karena dinilai hanya menambah masalah bagi bisnis kelapa sawit.

"Bisnis kelapa sawit berbeda dengan batu bara. Pemerintah seharusnya memahami perbedaan tersebut," kata Jhon, kemarin.

Menurutnya, ekspor seharusnya bebas dari batasan. Meski DMO dan DPO berhasil diimplementasikan untuk batu bara, namun hal itu tidak berlaku untuk kelapa sawit karena pemainnya lebih beragam.

"Sebaiknya digunakan kebijakan yang lebih canggih, yaitu tarif yang dibandingkan dengan DMO dan DPO," kata John.

John menambahkan, dibutuhkan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah pasokan minyak goreng di Indonesia. Bahkan dia menilai selama ini DMO dan DPO yang digunakan sebagai instrumen untuk ketersediaan minyak goreng di dalam negeri, belum optimal dan justru menjadi hambatan bagi ekspor.

"Dalam kondisi saat ini, pasokan minyak goreng sudah cukup banyak, terbukti dari penurunan harga minyak goreng dalam beberapa hari terakhir," ujar John.

Dengan adanya pasokan minyak goreng yang melimpah dan harga minyak goreng juga turun, menurut John pemerintah seharusnya sudah bisa mencabut aturan DMO dan DPO.

 

Sebagai gantinya, pemerintah dapat menerapkan kebijakan pengelolaan minyak goreng curah atau kemasan sederhana yang diurus oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), ID Food, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.

"Pemerintah harusnya mencabut DMO dan DPO, diganti dengan kebijakan urusan minyak goreng curah atau kemasan sederhana yang diurus oleh Bulog, ID Food dan BUMN seperti yang telah dilakukan selama ini. Tinggal perbesar saja volumenya. Jadi bukan tidak ada yang urus minyak goreng jika DMO dan DPO dicabut," kata John.

John berharap agar pemerintah lebih menerapkan konsep kedaulatan pangan dalam mengelola pasokan minyak goreng.

Karena itu penyediaan dan distribusi minyak goreng untuk rakyat atau kebutuhan domestik lebih baik ditangani oleh pemerintah melalui Bulog, ID Food, dan BUMN pangan.

Sementara perusahaan pabrik kelapa sawit seperti PTPN, bertanggung jawab atas produksi minyak goreng, sementara Bulog, ID Food, dan BUMN pangan lainnya bertugas mendistribusikan.

"Sementara itu sektor swasta dapat tetap beroperasi secara bebas di pasar internasional dengan penerapan kewajiban dan tarif yang proporsional," pungkasnya.

Untuk diketahui, saat ini harga minyak goreng di Provinsi Bengkulu terpantau mengalami tren penurunan. Bahkan, harganya di bawah harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.

Sementara data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bengkulu, harga minyak goreng curah berada di kisaran Rp 12,6 ribu hingga Rp 13 ribu per liter, sedangkan harga minyak goreng kemasan sederhana Rp 15 ribu per liter dan kemasan premium Rp 17 ribu per liter.