Ribuan Perusahaan Sawit 'Kangkangi' Permentan Terkait Kebun Plasma
Jakarta, kabarsawit.com - Menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), ada sekitar 2.000 perusahaan kelapa sawit yang tidak memenuhi kewajibannya, yang mencakup pembangunan kebun seluas 20% dari kebun yang dikelolanya untuk masyarakat. Hanya 21,22% dari perusahaan yang bermitra dengan petani kelapa sawit mendukung angka ini.
Menurut Mansuetus Darto, Sekjen SPKS, ada 2.450 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia. "Ini menunjukkan bahwa kontribusi dari perusahaan kelapa sawit untuk membangun 20% plasma tidak terwujud." Dalam siaran pers pada hari Kamis (20/7), ia menyatakan bahwa perusahaan tersebut tidak memberikan bantuan kepada masyarakat lokal.
Berdasarkan permentan No 26 Tahun 2007 pasal 11 yang mengatur pembangunan kebun plasma untuk masyarakat. Seperti yang dinyatakan Darto, kebun masyarakat harus dibangun dengan luas minimal 20 persen dari total luas kebun yang diusahakan.
Darto mengatakan banyak konflik terjadi antara perusahaan dan masyarakat karena kewajiban ini tidak dipenuhi. sama seperti di daerah Seruyan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Menurutnya, perusahaan sawit akan sulit memenuhi aspek traceability sebagai akibat dari tidak membangun kemitraan itu. Ini karena perusahaan selama ini juga tidak mampu melakukan pemetaan terhadap petani sawit yang ada, yang mensuplai buah sawitnya.
Dia mengklaim bahwa petani akan memiliki tugas yang relatif mudah untuk memenuhi aspek traceability. Menurutnya, petani saat ini menggunakan teknologi pemetaan berbasis area atau poligon, yang mencapai 60.000 poligon secara keseluruhan. Meskipun pemerintah juga dapat menggunakannya, keuntungan harus diberikan kepada petani. Harus ada kolaborasi petani yang sudah dapat dilacak.
"Kita tahu bahwa praktik perusahaan sawit itu dapat memberi harga yang tidak adil, dan sudah tahu jelas petak lahannya segala macem, harus diajak bermitra dan harus memberikan harga yang adil," tegasnya. Dalam kasus sebelumnya, alasan DMO, harga bebas, digunakan. Selain itu, tidak ada harga acuan yang digunakan sebagai referensi untuk petani sawit swadaya, yang selama ini diatur oleh tengkulak. Kebijakan Uni Eropa ini menuntut perusahaan sawit dan pelaku eksportir untuk memberikan harga yang adil kepada petani.
Karena perusahaan sawit tidak memenuhi prinsip ketelusuran (traceability) dalam Undang-Undang Antideforestrasi Eropa atau European Union Deforestation-Free (EUDR) terhadap rantai pasokan sawit, kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengusaha lebih siap untuk menerapkan undang-undang tersebut.